MENGENAL MA’RIFAT ABDURRAUF

Syekh Abdurrauf

MENGENAL MA’RIFAT  

SYEKH ABDURRAUF

Syekh Abdurrauf dikenal sebagai ulama. Namanya yang singkat dan sederhana ini kadang-kadang di­lengkapi dengan Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Namun, ia memperoleh sejumlah gelar seperti, Syekh Kuala, Syekh di Kuala atau Ciah Kuala, dan Tengku Ciah Kuala. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Ab­durrauf van Singkel. Disebut Syekh Kuala karena Syekh Abdurrauf pernah menetap dan mengajar hingga wa­fatnya dan dimakamkan di Kuala sungai Aceh. Digelari Abdurrauf van Singkel karena ia lahir di Singkil (1593 M), Aceh Selatan.
Di masa mudanya, mula-mula Abdurrauf belajar di Dayah Simpang Kanan, pedalaman Singkil, yang dip­impin Syekh Ali al-Fansuri, ayahnya sendiri. Kemudian, Abdurrauf melanjutkan belajar ke Barus, di Dayah Teungku Chik, yang dipimpin oleh Syekh Hamzah Fan­suri. Abdurrauf sempat pula belajar di Samudera Pasee, pada Dayah Tinggi Syekh Shamsuddin as-Sumaterani. Setelah Syekh Syamsuddin pindah ke Kuta Radja (Banda Aceh) diangkatlah Sultan Iskandar Muda seba­gai Qadhi Malikul Adil. Pada saat itu Syekh Abdurrauf mendapat kesempatan belajar ke negeri Arab. Selama belajar di luar negeri, Abdurrauf yang baru l9 tahun itu telah menerima pelajaran dari 15 orang ulama.
Disebut pula Syekh Abdurrauf telah berkenalan dengan 27 ulama besar dan 15 orang sufi termashur. Tentang pertemuannya dengan para sufi, ia berkata, “Adapun segala sufi yang mashur wilayatnya, yang bertemu dengan fakir ini dalam antara masa itu…”
Tahun 1661 M, Abdurrauf kembali ke Aceh. Setelah tinggal beberapa waktu di Kuta Radja, ia mengadakan perjalanan ke Singkil, kemudian kembali ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadly Malikul Adil, sebagai Mufti Besar dan Syekh Jamiah Baitur Rahim menggantikan Syekh Nuruddin ar-Raniri yang pergi ke Mekkah.
Syekh Abdurrauf tidak begitu keras dalam berhadapan dengan faham orang lain. Hal ini dapat dilihat pada tulisan DR. T. Iskandar: “Walaupun Abdurrauf termasuk penganut fahaman tua mengenai ajarannya dalam ilmu tasauf, tetapi berbeda dengan Nuruddin ar- Raniry, ia tidak begitu kejam terhadap mereka yang menganut fahaman lain. Terhadap Tarekat Wujudiah, ia berpendapat bahwa orang tidak boleh begitu tergesa-gesa mengecap penganut tarekat ini seba­gai kafir. Jika benar ia kafir, apakah gunanya mensia-siakan perkataan atasnya dan sekiranya ia bukan kafir, maka perkataan itu akan berbalik kepada dirinya sendiri.” (Abdurrauf Singkil Tokoh Syatariah Abad ke-17: Dewan Bahasa, Mei 1965).
Syeikh Abdurrauf menulis buku dalam bahasa Melayu dan Arab. Bukunya yang terkenal antara lain, Turjumanul Mustafiid, Miraatut Thullab (Kitab Ilmu Hukum), Umdatul Muhtajin lla Suluki Maslakil Mufradin (Mengenai Ketuhanan dan Filsafat), Bayan Tajalli (Ilmu Tasawuf), dan Kifayat al-Muhtajin (Ilmu Tasawuf). Seluruh karyanya ditulis dalam bentuk prosa. Hanya satu yang ditulis dalam bentuk puisi, yakni Syair Ma’rifat.
Sebagai penyair, Syeikh Abdurrauf memperlihatkan kepiawaiannya menulis puisi “Syair Ma’rifat”. Salah satu naskah syair ini disalin di Bukit Tinggi tahun 1859. Syair Ma’rifat mengemukakan tentang empat komponen agama Islam. Yakni Iman, Islam, Tauhid dan Ma’rifat. Nampak dalam syair itu unsur ma’rifat sebagai pengetahuan sufi yang menjadi puncak tertinggi.
Dalam puisi itu Abdurrauf mencoba menjelaskan tentang pendekatan amalan tasawuf menurut aliran al-Sunnah wal al-Jamaah.
"Jikalau diibarat sebiji kelapa
kulit dan isi tiada serupa
janganlah kita bersalah sapa
tetapi beza tiadalah berapa

"Sebiji kelapa ibarat sama
lafaznya empat suatu ma’ana
di situlah banyak orang terlena
sebab pendapat kurang sempurna
kulitnya itu ibarat syariat"
 tempurungnya itu ibarat tariqat
isinya itu ibarat haqiqat
minyaknya itu ibarat ma’rifat
(Syair Ma’rifat: Perpustakaan Universiti, Leiden OPH. No.78, hlm. 9-25/ Dewan Bahasa dan Pustaka, Desember 1992).
Tingkat ma’rifat merupakan tahap terakhir setelah melalui jenjang syariat, tarekat, dan hakekat, dalam perjalanan menuju Allah. Untuk sampai ke tingkat ma’rifat, menurut Abdurrauf, orang harus lebih da­hulu menjalankan aspek syariat dan tarekat dengan tertib. Orang harus melakukan ibadah dengan benar dan ikhlas.
Tentunya ada suasana mistik di sana. Suasana mistik itu akan lebih terasa bila membaca barisan lain dari “Syair Ma’rifat”.
"Airnya itu arak yang mabuk
siapa minum jadi tertunduk
airnya itu menjadi tuba
siapa minum menjadi gila

"Ombaknya itu amat gementam
baiklah bahtera sudahnya karam
laut ini laut haqiqi
tiada bertengah tiada bertepi

Buku karya Syekh Abdurrauf lainnya diberi judul “Kifayat al-Muhtajin”. Buku itu ditulisnya atas titah Tajul ‘Alam Safiatuddin, seorang Sultanah yang mengayomi ulama dan sastrawan. Kitab ini berisi ilmu tasawuf. Disebutkan sebelum alam semesta ini dijadikan Allah, hanya ada wujud Allah.
Ulama besar dan pujangga Islam Syekh Abdurrauf meninggal 1695 M, usia 105 tahun. Dimakamkan di Kuala, Sungai Aceh, Banda Aceh.

Sumber: L.K. Ara. Penyair asal Dataran Tinggi Gayo Takengon

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Campuran Panton Aceh

ACEH DALAM JAJAHAN BELANDA