ACEH DALAM JAJAHAN BELANDA
PERANG Belanda di Aceh yang diakibatkan pengkhianatan Belanda atas
perjanjian Siak, membuat prajurit kerajaan Aceh menenggelamkan setiap
kapal negeri Kincir Angin tersebut saat melewati perairan Aceh.
Peperangan pun berlangsung hingga tiga tahap. Dan pada 13 Oktober 1880,
setelah berhasil merebut Istana (Dalam-Kraton), Belanda menyatakan
perang frontal yang terjadi di Aceh berakhir. Padahal, masih banyak
pejuang Aceh yang bergerilya pada saat itu.
Latar Belakang
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di
mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang
kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda,
berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London
tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya
membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia
Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui
kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal
Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh.
Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan
Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda,
yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk
mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di
Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan
menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik
dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di
Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki
di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang
Aceh.
Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2
kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan
Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi
Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Perang Aceh
Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah
melakukan beberapa ancaman diplomatik. Sebuah ekspedisi dengan 3.000
serdadu yang dipimpin Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler
dikirimkan pada tahun 1874, namun dikalahkan tentara Aceh, di bawah
pimpinan Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah, yang telah
memodernisasikan senjatanya. Köhler sendiri berhasil dibunuh pada
tanggal 10 April 1873.
Ekspedisi kedua di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten berhasil
merebut istana sultan. Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada tanggal 26
Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan
sebagai Sultan di masjid Indragiri.
Pada 13 Oktober 1880, pemerintah kolonial menyatakan
bahwa perang telah berakhir. Bagaimanapun, perang dilanjutkan secara
gerilya dan perang fi'sabilillah dikobarkan, di mana sistem perang
gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904.
Pada masa perang dengan Belanda, Kesultanan Aceh sempat meminta bantuan
kepada perwakilan Amerika Serikat di Singapura yang disinggahi Panglima
Tibang Muhammad dalam perjalanannya menuju Pelantikan Kaisar Napoleon
III dari Perancis.
Aceh juga mengirim Habib Abdurrahman azh-Zhahir untuk meminta bantuan
kepada Kalifah Usmaniyah. Namun Turki Utsmani kala itu sudah mengalami
masa kemunduran. Sedangkan Amerika Serikat menolak campur tangan dalam
urusan Aceh dan Belanda.
Perang kembali berkobar pada tahun 1883. Pasukan Belanda berusaha
membebaskan para pelaut Britania Raya yang sedang ditawan di salah satu
wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh, dan menyerang kawasan tersebut.
Sultan Aceh menyerahkan para tawanan dan menerima bayaran yang cukup
besar sebagai gantinya.
Sementara itu, Menteri Perang Belanda, August Willem Philip Weitzel,
kembali menyatakan perang terbuka melawan Aceh. Belanda kali ini meminta
bantuan para pemimpin setempat, di antaranya Teuku Umar.
Teuku Umar diberikan gelar panglima perang besar dan pada 1 Januari
1894 bahkan menerima dana bantuan Belanda untuk membangun pasukannya.
Ternyata dua tahun kemudian Teuku Umar malah menyerang Belanda dengan
pasukan baru tersebut. Dalam perang gerilya ini Teuku Umar bersama
Panglima Polem dan Sultan terus tanpa pantang mundur.
Tetapi pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van
Der Dussen di Meulaboh Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nya' Dien istri
Teuku Umar siap tampil menjadi komandan perang gerilya.
Pada tahun 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah
gagal merebut Aceh. Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam
dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari
banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar
serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran
ini ternyata berhasil.
Dr Snouck Hurgronye yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh
untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya
itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Atjehers). Dalam buku itu
disebutkan rahasia bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Isi nasihat Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda yang bertugas di Aceh adalah:
* Mengesampingkan golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) beserta pengikutnya.
* Senantiasa menyerang dan menghantam kaum ulama.
* Jangan mau berunding dengan para pimpinan gerilya.
* Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya.
* Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara
mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu
pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai
gubernur Aceh pada 1898-1904, kemudian Dr Snouck Hurgronye diangkat
sebagai penasihatnya, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn (kelak
menjadi Perdana Menteri Belanda), merebut sebagian besar Aceh.
Sultan M. Daud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap
oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904.
Istana Kesultanan Aceh kemudian diluluhlantakkan dan diganti dengan
bangunan baru yang sekarang dikenal dengan nama Pendopo Gubernur. Pada
tahun tersebut, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk
pasukan marechaussee yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan
Colone Macannya yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan,
hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar
gerilyawan-gerilyawan Aceh.
Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan
anggota keluarga Gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik
permaisuri Sultan dan Tengku Putroe (1902). Van der Maaten menawan
putera Sultan Tuanku Ibrahim.
Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan
berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali,
Panglima Polem dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap
putera Panglima Polem, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa
keluarga terdekatnya.
Panglima Polem kemudian meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe
(1903). Akibat Panglima Polem menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat
yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polem.
Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang
dilakukan di bawah pimpinan Van Daalen yang menggantikan Van Heutz.
Seperti pembunuhan di Kuto Reh (14 Juni 1904) dimana 2922 orang
dibunuhnya, yang terdiri dari 1773 laki-laki dan 1149 perempuan.
Taktik terakhir menangkap Cut Nya' Dien istri Teuku Umar yang masih
melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya' Dien dapat
ditangkap dan diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.
Komentar
Posting Komentar