Ureung Meureudu, Mata Hu Su Meutaga
Ureung Meureudu, “Mata Hu Su Meutaga”
Bivak Belanda Di meureudu |
“Mata hu su meutaga”, merupakan label untuk orang Meureudu menarik dipertanyakan. Apakah ini memang karakter masyarakatnya atau ada kisah lain. Misal ketika orang Pidie disebut Pidie pra’ak, Samalanga wala’ak-wala’ak. Secara subtansi, sebutan ini tak berkait dengan karakter masyarakat kedua daerah itu. Konon istilah lahir ketika DI/TII di Aceh. Saat itu situasi keamanan di Aceh tidak menentu—peresis seperti sekarang usai konflik.
Ceritanya, suatu ketika terjadi kontak tembak (perang) antara pejuang DI/TII dengan tentara Pancasila di kota Pidie (Sigli sekarang), membuat penduduk harus mengungsi, termasuk warga keturunan Cina. Mereka lari ada yang ke Bireuen, Langsa, bahkan ke Medan. Nah, warga turunan ini menceritakan keadaan Pidie dengan bahasa Aceh yang tilo-tilo alang berlogat mandarin,
“Pidie Pla’ng” (Pidie Prang ; Pidie sedang perang). “Terus di Samalanga bagaimana?”, tanya seorang warga; “Samalanga wala’ wala’am,” (Samalanga Wallahu'alam) jawab Cina itu. Namun entah bagaimana cerita itu kemudian, sehingga orang dengan gampang menyebutkan Pidie Pra’ak, Samalanga wala’ak-wala’ak.
Lain halnya sebutan orang Meureudu; mata hu su meutaga. Secara historis boleh jadi karakter masyarakat Meureudu berkait sikap tegas, disiplin dan konsekwen. Meskipun secara bahasa—orang Meureudu mata hu su meutaga—ini bisa ditafsir sebagai karakter pemarah, emosional, mudah tersinggung, bahkan bengis atau semacam memiliki sifar yang menakutkan. Sebab secara bahasa, mata hu su mentaga jelas sikap emosional yang sudah di luar control.
Kita serng membayangkan jika seseorang marah, matanya membelalak merah dengan suaranya yang keras terbentak-bentak. Maka siapa pun akan merasa takut. Namun sebenarnya ada historia yang membuat istilah atau sebutan untuki Mereudu dicap sebagai masyarakat mata hu su meutaga. Dasar sejarahnya, bukan berarti orang Meuruedu berkarakter galak, berwatak keras, atau masyarakat yang mudah marah, melainkan pada ketegasan sikap, displin, serius, dan tidak main-main dalam setiap pengambilan keputusan dalam kepemimpinan, sejauh keputusan itu untuk kebenaran dan kemeslahatan orang banyak.
Meureudu tempo doeloe |
Tgk. Japakeh yang bernama asli Jalaluddin, seorang ulama besar Meureudu asal Turki.; Ia datang ke Aceh jauh sebelum periode kedatangan para ulama Turki lainnya yang dikirim khusus oleh Sultan Turki ke Aceh bersama kepulangan rombongan Meuriam Lada Secupak yang dipimpin oleh Laksamana Nyak Dum. Japakeh, dua kata “Khoja” dan “Faqih”. Khoja adalah gelar untuk orang kaya di Turki atau Persia. Faqih, sebutan untuk seorang ulama di Turki. Karena orang Aceh sukua menyingkat panggilan nama seseorang, maka Khoja Faqih dipanggil orang Aceh Japakeh. Padahal nama lengkap Tgk. Japakeh adalah Khoja Faqih Jalaluddin.
Pembangunan Irigasi meureudu |
Pada masa konflik di Aceh, Rawue ini pernah dijadikan markas GAM yang sangat aman. Lokasinya yang sulit terdeteksi juga letaknya sangat strategis di lembah pucuk sungai Meureudu yang dilindungi pergunungan. Raweu ini juga termasuk daerah keramat yang sulit dilintasi musuh. Sehingga para pejuang GAM dari Pidie dan Aceh Barat selalu berkumpul di Rawue ini, kata beberapa mantan kombatan GAM. Kampung Rawue di lembah pucuk sungai Meureudu. Sebagai bekas tempat awal menetapnya ulama besar Tgk. Japakeh, dianggap karamah. Ini mungkin menarik diteliti.
Ketika Sultan Iskandar Muda hendak datang ke Meureudu pada hari yang telah ditentukan, semua rakyat dari Rawue yang dipimpin Tgk Japakeh turun dengan segala bawaan hasil pertanian untuk menyambut kedatangan Sultan. Namun setelah beberapa hari mereka menungu di Meureudu, Sultan tak kunjung datang. Akhirnya Tgk Japakeh bersama rakyat kembali ke Rawue. Sehingga begitu Sultan Iskandar Muda tiba di Meureudu tidak seorang rakyat pun yang menyambutnya. Sultan marah besar pada rakyat Meureudu dan Tgk Japakeh karena tak ada yang menyambut kedatangannya. Hingga Sultan mengirim utusan ke Rawue memberitahu bahwa Sultan sudah tujuh hari tiba di Meureudu dan tak seorang pun yang menyambutnya.
Maka dengan penuh sesal rakyat pun terpaksa turun kembali dari Rawue ke Meureudu untuk menemui Sultan Iskandar Muda dengan segala bawaan hasil pertaniannya yang akan dipersembahkan kepada Sultan dan rombongannya. Begitu sampai di Meureudu, Tgk Japakeh langsung menghadap Sultan Iskandar Muda dan meminta maaf atas keterlambatan rakyat Meureudu menyambut kedatangannya. Tapi permintaan maaf Tgk Japakeh ini malah disambut oleh Sultan dengan kemarahan, bahkan segala persembahan hasil pertanian rakyat Meureudi tidak mau diterima oleh Sultan Iskandar Muda.
Jalur rel kereta api meureudu tempo dulu |
Sangking marahnya Tgk Japakeh di hadapan Sultan, Japekeh menyuruh rakyat Meureudu untuk mengambil kembali semua barang bawaan hasil pertanian yang ingin dipersembahkan kepada Sultan disuruh ambil kembali: “Kacok boh gadong ngen boh birah, ureung han ek mutadarah bek kapumeulia”, suruh Tgk Japakeh pada semua rakyat Meureudu. ( yang maksudnya, ambil kembali semua ubi, gadung, dan talas untuk kita bawa pulang semua. Karena tiada guna kita memuliakan orang yang tidak mau menerima hormat kita).
Mendenger perkataan Japakeh yang demikian marah, Sultan Iskandar Muda pun menyadari kesalahannya. Sehingga baginda Sultan membujuk Tgk Japakeh dan rakyat Meureudu untuk tidak kembali ke Rawue, dan semua barang persembahan hasil pertanian rakyat Meureudu ketika itu diterima Sultan dengan senang hati. Setelah kedua belah pihak sudah saling memaafkan, maka dalam pembicaraan Tgk Japakeh dengan Sultan Iskandar Muda, Sultan bertanya pada Japakeh: “Mengapa orang negeri Meureudu ini keras kepala, dan berani menentangku dengan mata hu su mentaga?”.
“Ampun Duli Tuanku Sultan, bukanlah orang Meureudu ini yang keras kepala, akan tetapi Duli Tuanku jualah yang salah dan khilaf, karena tidak tepat pada janjinya,” jawab Tgk Japakeh. Dialog itu mengisyaratkan, karakter orang Meuruedu sebagai masyarakat mata hu su meutaga sudah dicap sejak zaman Sultan Iskandar Muda Namun sesungguhnya, bukan makna masyarakatnya pemberang, melainkan lebih pada sikap tegas dan serius. Bila ada yang menyalahi aturan yang telah disepakati bagi orang Meureudu tak ada alasan untuk tidak ditantang, tak kecuali apakah itu Sultan atau rakyat biasa.
Ternyata, karakter mata hu su meutaga ini juga melekat pada Mustafa Abubakar sebagai orang Meureudu ketika memimpin Aceh sebagai Pj. Gubernur (tahun 2006. Setahun ia memimpijn namun sampai saat ini masih dipuji banyak orang. Karakter ini kadang juga kumat pada Bupati Gade Salam, putra Meureudu yang sekarang jadi bupati Pidie Jaya. Dalam beberapa hal, sikap Bupati Gade Salam dianggap sangat arogan. Namun sisi lain itulah karakter yang diwariskan ulama besar Tgk Japakeh yang selalu tegas dan tidak main-main dengan aturan kepemimpinan yang telah disepakati.
***
* Nab Bahany As adalah budayawan, Ketua Lembaga
Studi Kebudayaan dan Pembangunan Masyarakat (LSKPM) Banda Aceh. Serambi Indonesia.
Sumber
Komentar
Posting Komentar