LAHIRNYA KONFLIK ACEH
PERJUANGAN DI ACEH
Oleh: Hasanuddin Yusuf AdanGerakan Aceh Merdeka (GAM) didirikan pengasasnya Teungku Hasan Muhammad Tiro pada 4 Desember 1976. Pemberitahuan secara meluas tentang gerakan itu dilakukan di Glee Alimon (gunung alimun) sebuah tempat bersejarah dalam pergerakan DI/TII yang dipimpin Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh.
Selama lebih kurang 30 tahun perjuangannya gerakan ini rasmi meletakkan senjata dan berdamai dengan Republik Indonesia (RI) pada 15 Ogos 2005 lebih kurang lapan bulan setelah wilayah Aceh dilanda gempa bumi besar dan gelombang tsunami dahsyat.
Selama 30 tahun lamanya GAM wujud di Aceh dan Indonesia, banyak hal yang terjadi dan menjadi liputan sejarah yang cukup bermakna bagi semua bangsa. Mulai dari sejumlah kecil kaum ulama dan tokoh masyarakat di beberapa wilayah Aceh Teungku Hasan Muhammad telah berhasil mempengaruhi fikiran dunia sehingga dunia antarabangsa tahu bahawa di pulau Sumatera ada satu wilayah dalam negara RI yang bernama Aceh. Lebih jauh dari itu bangsa-bangsa di dunia hari ini telah mengerti bahawa Aceh didiskriminasi oleh RI dengan cara yang sangat biadab, suasana sebegini muncul sangat dalam masa perang DI/TII (Darul Islam/Tentera Islam Indonesia) tahun 1953 sampai 1963, praktik Daerah Operasi Militer (DOM) tahun 1989 sampai 1998 dan masa Darurat Militer/Darurat Sipil tahun 2003 sampai 2005.
Walaupun selama terjadinya konflik antara RI dengan GAM dalam masa lumayan lama itu banyak dan hampir semua orang Aceh terseksa, namun ketika perdamaian itu tiba maka hampir semua orang senang, bergembira dan sepertinya tidak terjadi apa-apa. Namun demikian beberapa kisah biadap dan tidak berprikemanusiaan yang pernah terjadi terhadap siapa saja dalam konteks konflik tersebut tetap menjadi sejarah penting dalam memori Bangsa Aceh.
Selisih pendekatan atau dalam bahasa sedikit kasar perpecahan yang pernah terjadi dalam tubuh GAM sendiri menjadi sebuah daya tarik tersendiri dalam konteks Aceh Damai hari ini. Sebagaimana juga organisasi perjuangan pembebasan wilayah lain di dunia ini, GAM terjadi beberapa kali perselisihan dalam tubuh organisasinya semenjak tempoh awal sampai selesainya perdamaian dengan RI. Terlepas dari mana asal muasalnya perselisihan itu datang, sejarah telah mencatat bahawa tersingkirnya kelompok Dr. Husaini (barangkali termasuk Daud Paneuk, Syahbuddin, M. Yussuf Daud, dll) dari koordinasi Teungku Hasan yang sama-sama bermukim di Sweden merupakan satu babak sejarah hitam dalam perjalanan dan perjuangan GAM masa lalu. Selanjutnya muncul gerakan baru dalam tubuh GAM sendiri dengan nama MP-GAM yang dikoordinasikan Teuku Don Zulfahri di Kuala Lumpur Malaysia dalam era reformasi (1998-2000) menjadi satu sejarah hitam dalam rentetan perjuangan GAM.
Walaupun gerakan ini berakhir setelah terbunuhnya Teuku Don Zulfahri di sebuah restoran kawasan Ampang, Kuala Lumpur dalam tahun 2000, namun kesannya dapat berimbas untuk masa panjang. Selain itu, Teungku Fauzi Abu Hasbi Geudong (mantan orang kuat GAM) yang pernah muncul dengan beberapa bukunya yang menentang kewujudan kepemimpinan Teungku Hasan Muhammad Tiro menjadi edisi tersendiri perselisihan dalam tubuh GAM. Semua itu menjadi pengalaman yang amat berharga baik bagi GAM sendiri mahupun kepada seluruh bangsa Aceh khususnya yang berjiwa patriot. Ketika terjadinya tandatangan MoU di Helsinki, malah jauh sebelumnya, sebahagian tokoh GAM di luar negeri juga masih memilih berperang sampai merdeka berbandinh berdamai dengan Indonesia. Walaupun tokoh-tokoh yang menetap di Norway, Australia, Sweden dan Malaysia tersebut tidak membuka perlawanan terhadap induk GAMnya.
Kesan Perpecahan
Hampir di semua tempat mempunyai sifat yang sama berkenaan dengan perselisihan dan perpecahan dalam tubuh sesuatu organisasi. Ketika GAM dilanda sedikit perpecahan dalam sejarah perjuangannya, maka di sana pula terjadi kematian yang tidak sepatutnya terjadi. Kes kematian Teuku Don Zulfahri, Teungku Usman Pasi Lhok dan sejumlah pejuang lain di Malaysia merupakan kesan dari perselisihan tersebut. Lebih jauh kesan dari suasana seperti itu terjadinya pemisahan kehidupan orang Aceh dalam beberapa golongan baik di dalam mahupun di luar negeri. Itu memang alami sifatnya dan banyak terjadi di tempat lain, namun semua kita diminta agar dapat mengurangkan dan bahkan menghindari sama sekali kematian tidak proporsional kerana itu termasuk dalam kategori dosa besar.
Akibat dari perpecahan seumpama itu, di satu sisi kewujudan GAM semakin kental kerana tidak ada lagi cabaran dari dalam. Selain itu semua komponen dan pendukung GAM semakin bersatu menghadap Jakarta dengan segala upaya yang ada. Ketika GAM tidak ada oposisi yang dapat mengugat perjuangannya dari dalam, maka kewujudan dan hakikat perjuangannya semakin sempurna dan bersatu dalam ikatan perjuangan kemerdekaan. Hal ini berbeza dengan perjuangan kemerdekaan lain di dunia seperti di Moro (Filipina Selatan), Palestin, Kashmir, dan perjuangan bangsa Kurdi di Turki yang mengalami perpecahan dalam tubuh organisasinya sehingga membawa kepada kegagalan.
Namun pada masa-masa awal konflik dalaman GAM terjadi, banyak penggemar dan masyarakat awam yang benci terhadap kezaliman Indonesia merasa kecewa dan dilanda depressi. Paling tidak mereka bingung dengan keadaan GAM yang sedang berjuang melawan kebejatan Indonesia di satu sisi dengan keretakan dalamannya di sisi lain. Barangkali ada juga sejumlah orang yang tidak bersabar yang membelot ke arah RI kerana tidak memiliki kekuatan pssikologi yang mantap. Dan tidak kurang juga di antara mereka yang terbang menuju dunia luar, bahkan banyak yang berhasil di luar berbanding tetap bertahan di dalam negeri.
Satu lagi kebimbangan kita akibat terjadinya konflik dalaman GAM pada zaman sebelum berdamai dengan RI adalah terbukanya peluang bagi Jakarta untuk membelah Aceh menjadi dua atau tiga wilayah. Perkara seumpama ini pernah terjadi di wilayah Pattani (Thailand Selatan) yang sampai hari ini muslim di sana masih menuntut kemerdekaan dari negara Thailand. Di Aceh, sudah ada senario dari pihak-pihak tertentu di Jakarta untuk membela Aceh menjadi tiga wilayah iaitu; wilayah NAD sendiri, wilayah Aceh Leuser Antara (ALA) dan wilayah Aceh Barat Selatan (ABAS). Perhitungan tesebut ternyata sekarang jauh dari kenyataan setelah terjadinya perdamaian GAM dengan RI ekoran MoU yang terjadi pada tanggal 15 Ogos 2005 di Helsinki, Finland kerana wilayah Aceh ditetapkan dari Sabang sampai Kutacane.
Hasil Perjuangan GAM
Yakin atau tidak yakin, mengakui atau tidak mengakui, perjuangan GAM telah membawa banyak hasil yang amat positif bagi kehidupan bangsa. Memang tidak boleh dinisbikan di sana tentu ada malapetaka akibat perang dalam waktu lama. Namun demikian, adanya perhatian pemerintah Indonesia yang mengawal Aceh dari Jakarta terhadap perbaikan jalan-jalan, jambatan-jambatan, pusat-pusat pemerintahan di Aceh, pendidikan dan sejumlah infrastruktur lainnya dalam masa 20 tahun terakhir tidak dapat dipisahkan dengan perjuangan GAM.
Autonomi Khusus dengan wewenang luas yang didapati Aceh dan tidak didapati wilayah lain di Indonesia juga tidak boleh lepas dengan perjuangan GAM. Di akui atau tidak, menurut kebiasaan Indonesia tanpa perlawanan GAM terhadap RI maka mustahil Autonomi Khusus tersebut dapat dimiliki Aceh. Dan, yang satu ini terbukti kepada daerah-daerah lain yang tidak melawan Jakarta dengan senjata sampai hari ini tidak mendapatkannya walaupun nafsu mereka cukup tinggi untuk memperoleh itu. Autonomi Khusus ini pula yang membuat Aceh harus memiliki sejumlah Undang-undang sebagai media operasinya.
Lahirnya UU. No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU. No. 18 Tahun 2001 Tentang Autonomi Khusus juga sulit dipisahkan dengan perjuangan GAM. Kerana untuk mendukung Autonomi Khusus, maka perlu adanya Undang-undang dan untuk kesempurnaannya tidak cukup satu Undang-undang yang diperlukan. Malah selain dua Undang-undang tersebut di atas, Aceh memerlukan banyak Qanun untuk menjalankan amanat dua Undang-undang tersebut. Terakhir Undang-undang paling istimewa dimiliki Aceh sebagai kesan dari perlawanan GAM adalah UU. No. 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Dapat dipastikan tidak satupun wilayah di Indonesia yang memiliki Undang-undang pemerintahan sendiri seperti yang dimiliki Aceh.
Perkenalan Aceh ke peringkat dunia antarabangsa sehingga ia popular seperti zaman Kerajaan Aceh Darussalam lewat perlawanan terhadap kezaliman Indonesia menjadi salah satu upaya keras GAM dalam perjuangan menuntut kemerdekaannya. Selama perjuangan GAM nama Aceh kembali popular di Amerika, Eropah, Afrika, Australia dan hampir seluruh penjuru dunia yang sebelumnya orang Malaysia saja tidak tahu di mana Aceh dan apa itu Aceh. Di terimanya sejumlah tokoh GAM bermastautin di Sweden merupakan babak awal kemenagan populariti Aceh di Eropah. Terjadinya perbincangan antara GAM dengan RI yang diprakarsai oleh Hendri Dunant Center (HDC) dalam tahun 2000 menjadi satu langkah baru bagi dunia antarabangsa untuk lebih mengenal Aceh secara dekat. Dan perdamaian paling akhir di Helsinki (Findland) yang diprakarsai mantan Perdana Menteri negara tersebut Martti Ahtisaari lewat lembaganya Cricis Management Initiative (CMI) membuat informasi Aceh sangat melonjak di peringkat antarabangsa.
Terlepas ada pihak yang sangat senang atau tidak senang dengan pemberlakuan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, sejarah telah mencatat bahawa Aceh mendapatkan semua itu berkat perlawanan GAM terhadap RI yang sangat diskriminatif terhadap Aceh. Ketika RI sulit mengamankan Aceh dari Gerakan Aceh Merdeka yang berlangsung hampir 30 tahun, maka sebahagian tokoh Aceh dan Indonesia mencari penyelesaian lain bagi menenangkan Aceh dengan pemberlakuan Syari’at Islam. Diharapkan dengan cara itu Aceh boleh aman dan GAM mahu meletakkan senjata kerana dalam sejarah perjuangan Aceh selalu mengutamakan Syari’at Islam serta jakarta tahu bahawa bangsa Aceh sangat cinta terhadap Islam.
Sekali lagi, terlepas dari kehancuran dan kesengsaraan yang terjadi akibat perlawanan GAM terhadap RI, di sana terdapat sejumlah kebaikan dan manfa’at yang tidak ternilai harganya. Tanpa perjuangan GAM, identiti Aceh terancam punah, adat-budaya Aceh membaur dengan Jawa, tamaddun Aceh hancur berkecai sehingga dapat mengancam peradaban dalam masa lumayan panjang. Aceh hari ini berada pada posisi pantauan dunia luar, ia punya peluang untuk kembali ke suasana masa Kerajaan Aceh Darussalam yang memiliki hubungan bilateral menyeluruh ke berbagai negara di berbagai benua.
Walau bagaimanapun, perjuangan GAM yang berakhir dengan usaha kesepakatan damai dengan RI di Helsinki belumlah menjadi satu keberhasilannya bila diukur dengan lamanya berperang melawan Indonesia. Sesungguhnya sasaran perjuangan GAM adalah dapat mendirikan Negara Aceh yang mandiri dan lepas dari Indonesia, ketika sasaran ini tidak tercapai maka secara mudah dapat dikatakan perjuangan itu telah gagal. Namun melihat keadaan Aceh hari ini tidaklah secara serta merta boleh dikatakan perjuangan GAM telah gagal kerana mereka sudah merubah sistem dan pendekatan perjuangan dari memakai senjata kepada memakai pena (dari perlawanan lewat senjata ke perlawanan lewat jalur politik).
Sekarang kepakaran beralih tempat dari kepakaran menembak kepada kepakaran menulis dan berdiplomasi. Yang menjadi persoalan kepada GAM hari ini adalah; adakah ianya memiliki pakar-pakar tersebut sehingga dalam suasana damai ini dapat menggunakan kesempatan untuk mencapai tujuan? Kalau ada, maka perjuangan asalnya akan terus berlanjut, tetapi kalau tidak ada maka kewujudan perjuangannya akan ditelan zaman. Kerana itu teknik dan mekanisme meluaskan kepakaran bagi memperolah manfaat sangat diperlukan kalangan GAM, kalau tidak demikian maka dibimbangi perjuangan panjang yang memakan waktu 30 tahun dengan korban harta benda dan nyawa manusia yang tidak terhitungkan akan berakhir sia-sia.
Kemenangan calon pasangan Gubernor/Naib Gubernor, Irwandi-Nazar yang diperjuangkan kalangan GAM muda merupakan satu momentum dan peluang yang sangat bermakna untuk mencapai tujuan. Itu pun kalau mereka dapat memimpin dengan baik dan dapat memuaskan semua pihak terutama sekali kalangan GAM sendiri, kalau tidak demikian mereka akan berhadapan dengan masalah baru dengan fesyen baru yang dapat berakibat fatal bagi perjuangan jangka panjang GAM. Ada kemungkinan kalau pasangan Irwandi-Nazar gagal memimpin Aceh lima tahun ke depan, maka GAM secara organisasi akan terpaksa membuka lahan perang yang kesekian kalinya sebagai akibat kekecewaan dan kekecewaan sesuatu golongan.
Alternatif Penyelesaian
Untuk keperluan penyelesaian jangka panjang bagi Bangsa Aceh secara keseluruhan, maka semua pihak harus menghargai proses perjalanan sejarah baru bagi Aceh dan Bangsa Aceh yang terjadi secara sangat alami dan penuh makna. Pastikan tidak ada lagi puak-puak yang dapat menghantarkan Aceh ke lembah kehancuran dalam komuniti Aceh hari ini. Semua pihak, dan semua komponen masyarakat harus menyedari betul betapa rentannya hidup dalam alam konflik yang berkepanjangan. Dan semua Bangsa Aceh harus hidup aman dalam satu kepemimpinan Aceh yang kental dan berwibawa.
Persatuan dan kesatuan bangsa di Aceh hari ini tidak lagi berkisar antara sesama GAM, sesama Partai Nasional, sesama Organisasi Massa dan Pemuda, sesama pegawai negeri, sesama TNI dan POLRI atau antara satu dengan Kabupaten lainnya. Akan tetapi persatuan Bangsa di Aceh hari ini harus wujud persatuan Bangsa Aceh secara menyeluruh dan menyeluruh agar mudah membenah dan menjual kekayaan Aceh ke dunia luar secara sistematik. Di bawah pemimpin terpilih Aceh harus lepas dari sifat-sifat hipokrit, sifat primordial yang dapat mengakibatkan kemunduran Aceh dalam masa kemajuan zaman.
Proses alami yang wujud di Aceh hari ini harus diterima oleh semua pihak baik kalangan Aceh sendiri mahupun pihak Jakarta yang sedikit arogan. Suasana yang ada di Aceh hari ini bukanlah kehendak dan agenda GAM atau RI semata-mata, ia merupakan sebuah proses alami yang kerap terjadi di dunia dari masa ke masa. Untuk itu pula maka sikapilah semua itu sebagai sebuah proses simultan yang kebetulan kali ini terjadi di Aceh dan semua pihak diharapkan menerimanya dengan ikhlas hati serta jauh dari niat-niat jahat yang ingin mengkondisikan Aceh agar terus kacau atau agar Aceh tidak berkembang dan tidak berjalan Syari’at Islam. Fahamilah oleh semua pihak bahawa kemajuan Aceh dan berlakunya Syari’at Islam di Aceh tidak akan merugikan siapa-siapa, malah dapat membantu banyak bangsa yang selama ini hidup tidak bertepi, tidak terarah dan sengsara.
Kunci keberhasilan dan kunci dari semua nikmat yang telah diberikan Tuhan adalah; menyerah, mengabdi, mengakrabkan diri, meminta rezeki dan mengharapkan kedamaian abadi hanya kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Kalau tidak demikian sulit untuk dipertanggungjawabkan di hari kemudian. Di dunia kita boleh bersenang-senang dengan harta dan jawatan yang diberikan Tuhan, tetapi di akhirat nanti sulit dipertanggungjawabkan. Di sana ada perhitungan di atas sebuah mizan yang paling adil dan telus serta tidak dapat dikelabui seperti kebiasaan kehidupan di atas alam.
Aceh yang aman damai haruslah diisi dengan kemajuan pendidikan, kemajuan ekonomi, kemajuan peradaban dan kesempurnaan sistem sosial politik yang termetri dalam bingkai Islam. Hampir semua bangsa Aceh beragama Islam, Islam punya sistem dan gaya hidup yang lengkap dan jelas, lalu kenapa kita harus meninggalkannya dan mencari serta mempraktikkan sistem-sistem lain yang belum terjamin keasliannya. Kehancuran demi kehancuran yang terjadi di masa lalu tidak terlepas dari persoalan ini. Ummat Islam yang punya budaya, punya peradaban dan punya sistem hidup sendiri terpengaruh oleh reklame dan promosi luar yang bersifat nisbi dan sangat mutakhir. Akibatnya, di dunia mereka rugi dan hidup tidak menentu, di akhirat mendapat seksa neraka yang amat pedih dan tidak ada bantuan dari siapa.
Kunci keberhasilan bangsa Aceh zaman dahulu ada pada penyerahan diri dan penghambaan diri hanya kepada Allah semata-mata. Dengan memilih dan memiliki sifat demikian, kalau pun di dunia yang sementara ini Bangsa Aceh tidak hidup senang dari sisi pandang kekayaan harta benda, di akhirat pasti menang kerana mengikat diri dengan ikatan Islam secara sempurna dan menjalankannya dengan sempurna pula dalam kehidupan dunia. Ada kebimbangan Aceh akan menjadi sebuah wilayah sekular di dunia pasca perdamaian antara GAM dengan RI. Andaian ini didasarkan kepada bebas dan terbukanya Aceh kepada dunia antarabangsa dan lemahnya kawalan serta pengawalan syari’ah dan juga adat budaya Aceh sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Kebimbangan ini sangat beralasan bila mengingatkan hampir semua generasi Aceh mendapatkan pendidikan sekular dari sistem pendidikan Indonesia yang jauh dari sistem pendidikan Islam. Satu lagi hal yang mendukung wujudnya Aceh sekular di hadapan adalah; pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh hari ini terjadi secara langsung menuju kepada praktik dengan meninggalkan teoritik dan sosialisasi yang memadai. Perlakuan semisal ini dapat berakibat kepada terjadinya perlawanan langsung atau tidak langsung dari warga Aceh yang sudah sangat lama jauh dengan sistem kehidupan Islami.
Untuk itu semua, pembenahan ‘aqidah, penguatan tauhid dan pemantapan iman merupakan upaya-upaya dasar yang harus dilakukan oleh pihak berkuasa di Aceh agar implementasi Syari’ah akan mudah jalan tanpa paksaan. Ketika semua muslim Aceh telah memahami dan meyakini bahawa semua aktivitinya dikawal oleh Allah dan Malaikat-Nya maka mereka takut melakukan kesalahan sehingga penegakan Syari’at Islam tidak perlu dipaksakan sebagaimana yang pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Nota: Hasanuddin Yusuf Adan merupakan penasihat konflik bagi World Bank di Banda Aceh. Sebelum ini, beliau sebelum pernah diwawancarai menerusi“Hasanuddin Yusof Adan: Aceh belum mempercayai Indonesia!”. Dan, beliau dapat dihubungi menerusi, Emel.
Sejarah Asal Mula GAM
Sejarah Asal Mula GAM
Lahir karena Penindasan dan Pelecehan Tanah Adat
Putus sudah harapan damai di Aceh. Sejak kemarin, pemerintah mulai
memberlakukan darurat militer di Aceh. Enam bulan lamanya operasi bakal
dilakukan TNI. Militer diterjunkan untuk melumpuhkan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Mengapa dan bagaimana lahirnya ”si Anak Nakal” di Aceh itu?
Lahir karena Penindasan dan Pelecehan Tanah Adat
Putus sudah harapan damai di Aceh. Sejak kemarin, pemerintah mulai
memberlakukan darurat militer di Aceh. Enam bulan lamanya operasi bakal
dilakukan TNI. Militer diterjunkan untuk melumpuhkan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM). Mengapa dan bagaimana lahirnya ”si Anak Nakal” di Aceh itu?
BICARA GAM, mau tak mau, harus bicara kelahiran negara Republik
Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan
dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan
sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta.
Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief,
Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh
sebagai bagian tak terpisahkan.
Indonesia. Sebab, dari situlah kisah gerakan menuntut kemerdekaan
dimulai. Lima hari setelah RI diproklamasikan, Aceh menyatakan dukungan
sepenuhnya terhadap kekuasaan pemerintahan yang berpusat di Jakarta.
Di bawah Residen Aceh, yang juga tokoh terkemuka, Tengku Nyak Arief,
Aceh menyatakan janji kesetiaan, mendukung kemerdekaan RI dan Aceh
sebagai bagian tak terpisahkan.
Pada 23 Agustus 1945, sedikitnya 56 tokoh Aceh berkumpul
dan mengucapkan sumpah.”Demi Allah, saya akan setia untuk
membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang
terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama
Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh
mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur).
Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka
para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan
Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri
negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya
adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama
menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El
Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini
dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak
kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.
dan mengucapkan sumpah.”Demi Allah, saya akan setia untuk
membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang
terakhir.” Kecuali Mohammad Daud Beureueh, seluruh tokoh dan ulama
Aceh mengucapkan janji itu. Pukul 10.00, Husein Naim dan M Amin Bugeh
mengibarkan bendera di gedung Shu Chokan (kini, kantor gubernur).
Tengku Nyak Arief gubernur di bumi Serambi Mekah.
Tetapi, ternyata tak semua tokoh Aceh mengucapkan janji setia. Mereka
para hulubalang, prajurit di medan laga. Prajurit yang berjuang melawan
Belanda dan Jepang. Mereka yakin, tanpa RI, mereka bisa mengelola sendiri
negara Aceh. Inilah kisah awal sebuah gerakan kemerdekaan. Motornya
adalah Daud Cumbok. Markasnya di daerah Bireuen. Tokoh-tokoh ulama
menentang Daud Cumbok. Melalui tokoh dan pejuang Aceh, M. Nur El
Ibrahimy, Daud Cumbok digempur dan kalah. Dalam sejarah, perang ini
dinamakan perang saudara atau Perang Cumbok yang menewaskan tak
kurang 1.500 orang selama setahun hingga 1946.
Tahun 1948, ketika pemerintahan RI berpindah ke Yogyakarta dan
Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat
RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud
Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali,
muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur.
Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi,
dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye
kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti,
Beureueh memobilisasi dana rakyat.
Syafrudin Prawiranegara ditunjuk sebagai Presiden Pemerintahan Darurat
RI (PDRI), Aceh minta menjadi propinsi sendiri. Saat itulah, M. Daud
Beureueh ditunjuk sebagai Gubernur Militer Aceh.
Oleh karena kondisi negara terus labil dan Belanda merajalela kembali,
muncul gagasan melepaskan diri dari RI. Ide datang dari dr. Mansur.
Wilayahnya tak cuma Aceh. Tetapi, meliputi Aceh, Nias, Tapanuli,
Sumatera Selatan, Lampung, Bengkalis, Indragiri, Riau, Bengkulu, Jambi,
dan Minangkabau. Daud Beureueh menentang ide ini. Dia pun berkampanye
kepada seluruh rakyat, bahwa Aceh adalah bagian RI. Sebagai tanda bukti,
Beureueh memobilisasi dana rakyat.
Setahun kemudian, 1949, Beureueh berhasil mengumpulkan dana
rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa
Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk
perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian
pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan
kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang
emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya
perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang
untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh
adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke
Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno
pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.
Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh.
Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan
menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun
menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide
ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam.
Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII
Kartosuwiryo.
Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang
notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun
dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah
pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma,
ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI.
Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki.
Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai
gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi
daerah istimewa.
Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh
kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan
Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961,
Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII
lainnya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan,
melawan Soekarno.
rakyat 500.000 dolar AS. Uang itu disumbangkan utuh buat bangsa
Indonesia. Uang itu diberikan ABRI 250 ribu dolar, 50 ribu dolar untuk
perkantoran pemerintahan negara RI, 100 ribu dolar untuk pengembalian
pemerintahan RI dari Yogyakarta ke Jakarta, dan 100 ribu dolar diberikan
kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh juga menyumbang
emas lantakan untuk membeli obligasi pemerintah, membiayai berdirinya
perwakilan RI di India, Singapura dan pembelian dua pesawat terbang
untuk keperluan para pemimpin RI. Saat itu Soekarno menyebut Aceh
adalah modal utama kemerdekaan RI.
Setahun berlangsung, kekecewaan tumbuh. Propinsi Aceh dilebur ke
Propinsi Sumatera Utara. Rakyat Aceh marah. Apalagi, janji Soekarno
pada 16 Juni 1948 bahwa Aceh akan diberi hak mengurus rumah
tangganya sendiri sesuai syariat Islam tak juga dipenuhi.
Intinya, Daud Beureueh ingin pengakuan hak menjalankan agama di Aceh.
Bukan dilarang. Beureueh tak minta merdeka, cuma minta kebebasan
menjalankan agamanya sesuai syariat Islam. Daud Beureueh pun
menggulirkan ide pembentukan Negara Islam Indonesia pada April 1953. Ide
ini di Jawa Barat telah diusung Kartosuwiryo pada 1949 melalui Darul Islam.
Lima bulan kemudian, Beureueh menyatakan bergabung dan mengakui NII
Kartosuwiryo.
Dari sinilah lantas Beureueh melakukan gerilya. Rakyat Aceh, yang
notabene Islam, mendukung sepenuhnya ide NII itu. Tentara NII pun
dibentuk, bernama Tentara Islam Indonesia (TII). Lantas, terkenallah
pemberontakan DI/TII di sejumlah daerah. Beureueh lari ke hutan. Cuma,
ada tragedi di sini. Pada 1955 telah terjadi pembunuhan masal oleh TNI.
Sekitar 64 warga Aceh tak berdosa dibariskan di lapangan lalu ditembaki.
Aksi ini mengecewakan tokoh Aceh yang pro-Soekarno. Melalui berbagai
gejolak dan perundingan, pada 1959, Aceh memperoleh status propinsi
daerah istimewa.
Soekarno makin represif. Setiap ketidakpuasan dihancurkan oleh
kekuatan militer. PRRI/Permesta pun disikat habis. Republik Persatuan
Indonesia (RPI) pun ditumpas. Pemimpinnya ditangkapi. Tahun 1961,
Presiden RPI Syfarudin Prawiranegara menyerah. Diikuti tokoh DI/TII
lainnya, seperti M Natsir. Tetapi, Daud Beureueh tetap gerilya di hutan,
melawan Soekarno.
Dikhianati
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan
struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam
kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar
kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno
mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk
menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk
menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat
Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh.
Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan
rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan
segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh.
Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai
orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin.
Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang
kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat,
adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka
sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah
negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu
tak bisa tercapai tanpa senjata.
Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di
Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan
mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang,
senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil
Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi
berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para
tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.
Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin
tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu
ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat
setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan
rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan
dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun.
Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya,
dan dananya?
——————————
MASIH ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei lalu. Hingga batas waktu
ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda
awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung
kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui
perang gerilya.
Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan
bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar
rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh
rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi
Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari
rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya.
Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh
Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh
telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih
sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan
bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini
dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari
markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM
dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah
wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani
(Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap
GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya.
Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah
Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam,
dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan
militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak
muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar
Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di
seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah
satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam
latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin
Laden.
Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan
hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan
1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut,
prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel
dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).
Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu
dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke
Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga,
yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini
hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-
AL.
Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM
terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh
(pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta
Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita).
Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah
mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah
itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan
Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di
antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina — Moro. Persediaan
senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar
granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya
AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1.
Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang
menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis
Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang
Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan
Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik
senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di
Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata
yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek,
pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika
akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli
senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung.
Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus
kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab,
faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah
pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah
penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan
kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari
oknum TNI.
Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah
senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu
harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab,
strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki
senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang
dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa
tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup
ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak
murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki
donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar
negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa.
Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-
perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib
kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp
100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera
tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM
Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk
Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya
keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan
sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti
dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu.
Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis
dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain
handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit.
GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri
dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal
total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu
GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian
anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan
yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal.
Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA)
Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh
memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah
ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat
tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka
Beureueh merasa dikhianati Soekarno. Bung Karno tidak mengindahkan
struktur kepemimpinan adat dan tak menghargai peranan ulama dalam
kehidupan bernegara. Padahal, rakyat Aceh itu sangat besar
kepercayaannya kepada ulama. Gerilya dilakukan. Tetapi, Bung Karno
mengerahkan tentaranya ke Aceh. Tahun 1962, Beureueh dibujuk
menantunya El Ibrahimy agar menuruti Menhankam AH Nasution untuk
menyerah. Beureueh menurut karena ada janji akan dibuatkan UU Syariat
Islam bagi rakyat Aceh (baru terwujud tahun 2001).
GAM lahir di era Soeharto. Saat itu, sedang terjadi industrialisasi di Aceh.
Soeharto benar-benar mencampakkan adat dan segala penghormatan
rakyat Aceh. Efek judi melahirkan prostitusi, mabuk-mabukan, bar, dan
segala macam yang bertentangan dengan Islam dan adat rakyat Aceh.
Kekayaan alam Aceh dikuras melalui pembangunan industri yang dikuasai
orang asing melalui restu pusat. Sementara rakyat Aceh tetap miskin.
Pendidikan rendah, kondisi ekonomi sangat memprihatinkan.
Melihat hal ini, Daud Beureueh dan tokoh tua Aceh yang sudah tenang
kemudian bergerilya kembali untuk mengembalikan kehormatan rakyat,
adat Aceh dan agama Islam. Pertemuan digagas tahun 1970-an. Mereka
sepakat meneruskan pembentukan Republik Islam Aceh, yakni sebuah
negeri yang mulia dan penuh ampunan Tuhan. Kini mereka sadar, tujuan itu
tak bisa tercapai tanpa senjata.
Lalu diutuslah Zainal Abidin menemui Hasan Tiro yang sedang belajar di
Amerika. Pertemuan terjadi tahun 1972 dan disepakati Tiro akan
mengirim senjata ke Aceh. Zainal tak lain adalah kakak Tiro. Sayang,
senjata tak juga dikirim hingga Beureueh meninggal. Hasan Asleh, Jamil
Amin, Zainal Abidin, Hasan Tiro, Ilyas Leubee, dan masih banyak lagi
berkumpul di kaki Gunung Halimun, Pidie. Di sana, pada 24 Mei 1977, para
tokoh eks DI/TII dan tokoh muda Aceh mendirikan GAM.
Selama empat hari bersidang, Daud Beureueh ditunjuk sebagai pemimpin
tertinggi. Sementara Hasan Tiro yang tak hadir dalam pendirian GAM itu
ditunjuk sebagai wali negara. GAM terdiri atas 15 menteri, empat pejabat
setingkat menteri dan enam gubernur. Mereka pun bergerilya memuliakan
rakyat Aceh, adat, dan agamanya yang diinjak-injak Soeharto.
Miliki Pabrik Senjata dan Berlatih di Libia
Setelah didirikan, GAM mendapat dukungan rakyat. Hubungan dengan
dunia internasional terus dibangun. Kekuatan bersenjata pun disusun.
Berapa anggota GAM, bagaimana kekuatannya, jaringan internasionalnya,
dan dananya?
——————————
MASIH ingat deadline maklumat pemerintah 12 Mei lalu. Hingga batas waktu
ultimatum, pemerintah tak juga mengeluarkan keputusan sebagai tanda
awal operasi militer ke Aceh. Konon, saat itu pemerintah menghitung
kekuatan TNI di sana. Ada kekhawatiran, TNI bakal dilibas GAM melalui
perang gerilya.
Secara tidak langsung, kabar ini menyiratkan ketangguhan kekuatan
bersenjata GAM. Sesungguhnya jumlah anggota GAM itu sebagian besar
rakyat Aceh. Filosofinya begini. Jika rakyat terus ditindas, maka seluruh
rakyat itu akan bangkit melawan. Dan, hal seperti inilah yang terjadi di bumi
Serambi Mekah itu. Perlawanan GAM mendapat simpati luar biasa dari
rakyat Aceh. Rakyat yang lama ternista dan teraniaya.
Sambil berkelakar, Panglima Tertinggi GAM dan Wakil Wali Negara Aceh
Tengku Abdullah Syafei (alm) sempat mengatakan, bayi-bayi warga Aceh
telah disediakan senjata AK-47 oleh GAM. Mereka akan dididik dan dilatih
sebagai tentara GAM dan segera pergi berperang melawan TNI.
Sejatinya, basis perjuangan GAM dilakukan dalam dua sisi, diplomatik dan
bersenjata. Jalur diplomasi langsung dipimpin Hasan Tiro dari Swedia. Opini
dunia dikendalikan dari sini. Sementara basis militer dikendalikan dari
markasnya di perbatasan Aceh Utara-Pidie. Seluruh kekuatan GAM
dioperasikan dari tempat ini. Termasuk, seluruh komando di sejumlah
wilayah di Aceh dan di beberapa negara seperti Malaysia, Pattani
(Thailand), Moro (Filipina), Afghanistan, dan Kazakhstan. Tetapi, kerap
GAM menipu TNI dengan cara mengubah-ubah tempat markas utamanya.
Di seluruh Aceh, GAM membuka tujuh komando, yaitu komando wilayah
Pase Pantebahagia, Peurulak, Tamiang, Bateelik, Pidie, Aceh Darussalam,
dan Meureum. Masing-masing komando dibawahi panglima wilayah.
Sejak berdiri tahun 1977, GAM dengan cepat melakukan pendidikan
militer bagi anggota-anggotanya. Setidaknya tahun 1980-an, ribuan anak
muda dilatih di camp militer di Libia. Saat itu, Presiden Libia Mohammar
Khadafi mengadakan pelatihan militer bagi gerakan separatis dan teroris di
seluruh dunia. Hasan Tiro berhasil memasukkan nama GAM sebagai salah
satu peserta pelatihan. Pemuda kader GAM juga berhasil masuk dalam
latihan di camp militer di Kandahar, Afghanistan pimpinan Osama bin
Laden.
Gelombang pertama masuk tahun 1986, selanjutnya terus dilakukan
hingga akhir 1990. Selama DOM, pengiriman tersendat. Tetapi, angkatan
1995-1998 sudah mendapat latihan intensif. Ketika DOM dicabut,
prajurit dari Libia ini ditarik ke Aceh. Jumlahnya sekitar 5.000 personel
dan dijadikan pasukan elite GAM (semacam Kopassus).
Jalur ke Libia memang agak mudah. Dari Aceh, para pemuda Aceh itu
dikirim melalui Malaysia lalu menuju Libia. Jalur lainnya dari Aceh lalu ke
Thailand menuju Afghanistan dan melanjutkan ke Libia. Dari jalur ketiga,
yakni melalui Aceh menuju Filipina Selatan dan ke Libia. Tiga jalur penting ini
hampir selalu lolos dari jangkauan petugas imigrasi, polisi, dan patroli TNI-
AL.
Di era Syafei hingga sekarang dipegang Muzakkir Manaf, personel GAM
terdiri atas pasukan tempur, intelijen, polisi, pasukan inong baleh
(pasukan janda korban DOM) dan karades (pasukan khusus) serta
Lasykar Tjut Nyak Dien (tentara wanita).
Wakil Panglima GAM Wilayah Pase Akhmad Kandang (alm) pernah
mengklaim, jumlah personel GAM 70 ribu. Anggota GAM 490 ribu. Jumlah
itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang.
Sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan
Menhan Machfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di
antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina — Moro. Persediaan
senjatanya terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar
granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan. Jenis senapan di antaranya
AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1.
Dari mana persenjataan itu diperoleh? Ada jalur internasional yang
menyuplainya. Sejumlah negara disebut antara lain, gerakan separatis
Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang
Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan
Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM juga membuat pabrik
senjata. Di antaranya, di Kreung Sabe, Teunom — Aceh Barat — dan di
Lhokseumawe dan Nisau-Aceh Utara serta di Aceh Timur. Jenis senjata
yang diproduksi seperti bom, amunisi, senjata laras panjang dan pendek,
pabrik senjata ini bisa dibongkar pasang sesuai dengan kondisi medan. Jika
akan diserbu TNI, pabrik senjata telah dipindahkan ke daerah lain. Para ahli
senjata disekolahkan ke Afghanistan dan Libia.
Senjata-senjata GAM juga berasal dari Jakarta dan Bandung.
Pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri yang haus
kekayaan. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab,
faktanya GAM ternyata memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah
pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa trilyunan rupiah. Sebuah
penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya sempat menemukan
kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari
oknum TNI.
Kini, senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah
senjata berat. Sebab, sifatnya yang lamban. Prinsip GAM, senjata itu
harus memiliki mobilitas tinggi, mudah dibawa ke mana-mana. Sebab,
strategi perangnya yang hit and run. GAM bahkan mengaku memiliki
senjata yang lebih modern daripada TNI. Misalnya, senjata otomatis yang
dimiliki para karades. Senjata otomatis, berbentuk kecil mungil itu bisa
tahan berhari-hari dalam air. Anggota karades inilah yang biasa menyusup
ke kota-kota dan menyergap anggota TNI/Polri yang teledor.
Membeli senjata tentu dengan uang melimpah. Sebab, harganya yang tak
murah. Lantas, dari mana mereka mendapatkan dana? GAM memiliki
donatur tetap dari pengusaha-pengusaha Aceh yang sukses di luar
negeri. Di antaranya, di Thailand, Malaysia, Singapura, Amerika, dan Eropa.
Dana juga didapatkan dari sumbangan wajib yang diambil dari perusahaan-
perusahaan lokal dan multinasional di Aceh.
Sebagai gambaran, tahun 2000 lalu, GAM meminta sumbangan wajib
kepada seorang pengusaha lokal bernama Tengku Abu Bakar sebesar Rp
100 juta. Abu Bakar diberi surat berkop Neugara Atjeh-Sumatera
tertanggal 15 Februari 2000 yang ditandatangani oleh Panglima GAM
Wilayah Aceh Rajek Tengku Tarzura.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menyebut Pupuk
Iskandar Muda pernah menyetor Rp 10 milyar ke GAM untuk biaya
keamanan. GAM kerap melakukan gangguan bila tidak mendapatkan
sumbangan wajib tersebut. Makanya, setiap bulan, GAM mendapat upeti
dari para pengusaha ”sahabat GAM” itu.
Sistem komunikasi GAM juga sangat canggih. Sistem komunikasi berlapis
dilakukan GAM sebagai benteng pertahanan dan propaganda. Selain
handytalky, GAM juga memiliki radio tranking, radar dan telepon satelit.
GAM juga memiliki penyadap telepon. Acap kali gerakan TNI/Polri
dimentahkan aksi-aksi penyadapan ini. Penggerebekan sering kali gagal
total.
Sistem organisasinya yang disusun dengan sistem sel juga membantu
GAM survive. Tidak mudah menemukan markas GAM. Meski, ada sebagian
anggota GAM yang ditangkap. Antara anggota dan pejabat satu dengan
yang lain kadang tidak berhubungan, tidak saling mengenal.
Ketua Umum Forum Perjuangan dan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA)
Shalahuddin Al Fatah menuturkan, sejak zaman Belanda, rakyat Aceh
memang tidak pernah menang. Tetapi, rakyat Aceh tidak pernah
ditaklukkan. Fakta sejarah pula, gerakan rakyat Aceh menentang pusat
tidak pernah menang. Tetapi, TNI tidak pernah bisa menaklukkan mereka
Komentar
Posting Komentar